BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persoalan
lingkungan sudah mendunia dan sampai sekarang belum ditemukan pemecahannya.
Persoalan lingkungan tersebut mencakup masalah polusi udara, polusi air, polusi
suara, masalah kebersihan, masalah kerusakan tanah serta lahan, dan lain sebagainya.
Tidak
di negara maju maupun negara berkembang, semuanya tidak lepas dari masalah
lingkungan. Persoalan lingkungan yang seperti ini akhirnya menjadi tren
tersendiri di masing-masing negara.
Khususnya
di negara kita, Indonesia yang notabenenya masih menjadi negara berkembang
telah memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam
kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan, pencemaran udara dan air, limbah yang tersebar, telah menjadi pemandangan yang sehari-hari dapat kita nikmati baik itu di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dll, apalagi di desa-desa.
kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan, pencemaran udara dan air, limbah yang tersebar, telah menjadi pemandangan yang sehari-hari dapat kita nikmati baik itu di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dll, apalagi di desa-desa.
Pada
penelitian kita kali ini akan diamati seberapa besar tingkat pencemaran di
desa. Malino, sebagai desa yang selama ini terkenal asri akan diamati kerusakan
lingkungan yang terjadi di dalamnya. Dengan mengambil sampel desa Malino
mahasiswa akan menyimpulkan tingkat kerusakan lingkungan di pedesaan.
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan dri penelitian ini yaitu:
1.
Meramalkan keadaan
Bekas pabrik kertas Gowa 5 tahun kedepan
2.
Mengetahui dampak positif
dan dampak negatif dibangunnya DAM
Bili-bili
3.
Menjelaskan
pentingnya dibangun tanggul pengaman bagi pendangkalan DAM Bili-bili
4.
Mengetahui kaitan
antara letak tempat, kemiringan lereng, jenis struktur tanah dengan budidaya
tanaman
5.
Menjelaskan hubungan
ketinggian tempat dengan budidaya dan produksi teh
6.
Mendeskripsikan
jenis pola pertanian tanaman di Malino
C.
Manfaat Penelitian
Dari
penelitian yang dilakukan, kita dapat mengambil manfaat yaitu bahwa dari tempat
– tempat yang kami kunjungi akhirnya kami dapat mengetahui sejarahnya dan
berbagai aktifitas masyarakat disekitar tempat tersebut. Dan kami dapat
mengetahui kegunaan dari tempat – tempat tersebut, selain dijadikan sebagai
lahan pertanian tempat tersebut juga dijadikan sebagai tempat wisata. Adapun manfaat
yang paling mendalam bagi kami yaitu kami dapat mengembangkan fikiran secara
meluas karena dalam penelitian ini, kami dapat memprediksi beberapa tempat
tersebut untuk beberapa tahun ke depan hanya dengan melihat kondisinya dari
sekarang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Lingkungan
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997[1], lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup
Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berWawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan
yurisdiksinya.
Persoalan
lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang mengemuka pada seperempat
abad terakhir, termasuk di Indonesia sehingga isu lingkungan sangat menarik
untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi lingkungan mulai
dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama, sehingga
pengelolaannya harus dipandang sebagai masalah yang inter disipliner.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan , pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal tersebut memiliki makna terdapat korelasi antara Negara (state), wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making) serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang mencuat mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan hitam-putih antara apa yang dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan akan kepedulian Negara (baca: pemerintah), rakyat yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (DPR/ DPRD) serta lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law enforcement). Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi korban lingkungan misalnya: aksi demo dengan blokade jalan, merusak fasilitas industri baik atas dasar investasi domestik maupun asing, pembangkangan yang kesemuanya menggambarkan senjata terakhir dari kaum yang kalah (weapons of the weak).
II. Beberapa Persoalan Dasar Bidang Lingkungan
Sebagai salah satu contoh kasus bencana lumpur panas di Porong kabupaten Sidorjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 semula merupakan kasus pada skala regional pada akhirnya mengemuka sebagai kasus skala nasional dan menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya. Bencana yang mencapai luas 65 ribu hektar belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki dan Kedung Cangkring, 10.426 unit bangunan, 65 masjid & mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, 4 kantor (Kompas 12 Mei 2007). Persoalan ganti rugi yang sesungguhnya menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT Minarak Lapindo Jaya) hanya sanggup membayar 42 bidang dari 662 di Jatirejo. Pemerintah telah mencoba melakukan upaya dengan pembentukan Tim Nasional yang kemudian diganti Badan Penanggulangan Lumpur dengan saluran pengelak, bola beton, serta rencana counter weight belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka beberapa persoalan mendasar yang dapat penulis jabarkan mencakup:
1. Persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah)/ state based environmental management tercantum pada Pasal 8 – 13 UU No.23 Tahun 1997 memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah perspektif sektoral(sectoral perspective) dan partisipasi publik (baca masyarakat) yang semu (Pasal 5 Ayat (3) dan 7 Ayat (1) dan (2). Dikatakan semu, karena sifatnya hanya proforma (tokenism) belaka, tak ada kemampuan publik untuk melakukan kontrol yang efektif atas bagaimana pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah yang menurut Koesnadi Hardjasoemantri (2006) seharusnya mewujudkan Good Environmental Government (GEG) (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 70-78).
2. Kuatnya pengaruh variabel politik dan ekonomi serta tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan menciptakan wujud kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum yang mengesampingkan etika & moral, kearifan lokal (indigenous knowledge) serta kritik maupun keluhan korban lingkungan.
3. Sekalipun isu global baik "caring for the earth: a strategy for sustainable living" tahun 1980 yang disusun oleh IUCN, UNEP dan WWF yang diterjemahkan menjadi pembangunan berkelanjutan (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 117-118) maupun konsep United Nation Development Program 2006-2010 pada 2005 yang dinamakan "Millenium Development Goals (MDG’s)" yang dilatari peristiwa krisis multi dimensional dan transformasi politik, belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) khususnya akar rumput (grassroot/ rakyat). Artinya wacana global masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan intektual akademis. Pada akhirnya forum seminar, lokakarya, diskusi publik masih sebatas menggaungkan isu tersebut sebagai wacana belaka. Tak pelak, kesenjangan konsep dan cara pandang antara pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan sangat mencederai rasa keadilan rakyat.
4. Kelemahan posisi tawar pemerintah dalam melakukan perjanjian internasional baik bilateral maupun multi lateral, membawa dampak pada degradasi sumber daya alam (natural resources degradation) seperti perundingan dengan pemerintah Australia dalam Timor gap (1997), perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Singapura (2007) sehingga kerusakan kepulauan Riau akibat eksploitasi pasir semakin mengkhawatirkan. Belum termasuk kegagalan negosiasi dengan perusahaan transnasional seperti dengan PT Freeport Mc Moran Inc, PT Newmont Minahasa Raya, sehingga proses pencemaran yang hebat terus terjadi sekalipun telah timbul banyak korban.
III. Beberapa Pandangan Jalan Keluar/ Solusi
Beranjak beberapa persoalan mendasar yang dapat disarikan oleh penulis pada bagian di muka, maka dengan mempelajari bahan-bahan bacaan teoritik, hasil-hasil penelitian lapang, makan di bawah ini beberapa opsi solusi mengenai permasalahan lingkungan khususnya dapat perspektif hukum dan sosial adalah sebagai berikut:
1. Dengan mengambil beberapa contoh kegiatan yang sekalipun masih sangat langka menurut hemat penulis berhasil dilakukan di beberapa daerah tentang pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat (community based environmental management) seperti di taman nasional Bunaken (Sulawesi Utara) (Puslitbang BPN dan FH-Unibraw.,2005), Wonosobo dengan Community forestry (Anu Lounella, 2006) Wonosari dengan Wana Gama mengusung konsep social forestry (1994) menunjukkan bahwa sesungguhnya ada nilai esensial bahwa rakyat memiliki konsep kearifan yang bersifat/ bercorak lokal (Indigenous knowledge) yang potensial ditumbuhkembangkan menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) dalam masalah lingkungan (Anonimous.,2000 Ringkasan Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UNDP Country Programme for Indonesia, Desember 2005: 1-6, 37-40); Kearifan lokal yang merupakan mozaik kekayaan budaya Indonesia sayangnya hingga sekarang belum dikaji, dikembangkan apalagi diakui dan dilindungi eksistensinya.
2. Pemerintah bersama masyarakat menginisiasi suatu forum kecil di beberapa daerah yang berdasarkan hasil studi bersifat komprehensif mengalami permasalahan lingkungan dengan para pemangku kepentingan dengan skema/pola apa yang sesungguhnya dimaui oleh rakyat khususnya yang menjadi korban. Perspektif tanggung jawab dalam undang-undang No.23 Tahun 1997 Pasal 41-48 menunjukkan berperspektif pelaku. Tak pelak dalam upaya penegakan hukum baik yang dilakukan oleh kepolisian/ PPNS pada Pasal 40 maupun oleh pengadilan mengindikasikan keberpihakan pada pelaku yang notabene mapan dalam ekonomi serta akses. Tak harus inisiasi bersifat antisipatif melainkan sesungguhnya yang pas adalah preskriptif. Sungguh celaka, berdasarkan pengalaman, dunia akademis pendidikan tinggi yang awalnya sangat diandalkan untuk memberikan "pencerahan" melalui kajian-kajian ilmiahnya yang "obyektif" karena tradisi budaya "mentalitas mengabdinya" terjerembab ke dalam jurang keberpihakan kepada pelaku/ dunia usaha dengan lantang dan seolah perasaan tidak berdosa menyatakan rakyat tidak berhak menunutut karena peristiwa kerusakan lingkungan merupakan faktor alamiah.
3. Penuangan isu good corporate social responsibility harus dituangkan hitam di atas putih dalam kerangka ijin investasinya dengan sanksi siap untuk dicabut dan berarti harus siap dituntut pertanggungjawabannya secara hukum. Agar terjadi transparansi, maka setiap pemberian ijin investasi sekaligus satu paket kontrak sosial didesiminasikan kepada seluruh pemangku kepentingan dan komisi pengawas investasi daerah. Tentunya sejalan dengan ide tersebut, dalam upaya menggairahkan iklim investasi di daerah harus dibarengi dengan transparansi perijinan mulai prosedur, biaya, fasilitas, jaminan keamanan dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Usaha sistem pelayanan perijinan model satu atap seperti Sidoarjo, DKI baik diangkat dalam spektrum yang lebih luas bertaut dengan masalah lingkungan bagaimana menjadikan isu lingkungan yang berkelanjutan tidak sekadar gagasan di level birokrasi pemerintahan, dikalangan partai politikpun merupakan keniscayaan sebagai kebutuhan dasar bersama. Indonesia yang menurut hasil kajian lembaga internasional luas hutannya mencapai 120 juta hektar (10% luas total hutan tropis dunia) kerusakan sumber daya hutannya tercepat di dunia (terjadi perbedaan data FAO 2,8 juta hektar per tahun, Walhi 2,7 juta hektar sedangkan Departemen Kehutanan 1,18 juta hektar) tinggal menunggu waktu mengalami kehancuran yang salah satu faktornya diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Komitmen dan langkah nyata harus dilakukan menyusul diberlakukannya Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Penggalangan partisipasi bukan lagi kata kunci melainkan penyadaran keterlibatan semua pemangku kepentingan menjadi keniscayaan.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan , pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal tersebut memiliki makna terdapat korelasi antara Negara (state), wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making) serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang mencuat mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan hitam-putih antara apa yang dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan akan kepedulian Negara (baca: pemerintah), rakyat yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (DPR/ DPRD) serta lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law enforcement). Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi korban lingkungan misalnya: aksi demo dengan blokade jalan, merusak fasilitas industri baik atas dasar investasi domestik maupun asing, pembangkangan yang kesemuanya menggambarkan senjata terakhir dari kaum yang kalah (weapons of the weak).
II. Beberapa Persoalan Dasar Bidang Lingkungan
Sebagai salah satu contoh kasus bencana lumpur panas di Porong kabupaten Sidorjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 semula merupakan kasus pada skala regional pada akhirnya mengemuka sebagai kasus skala nasional dan menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya. Bencana yang mencapai luas 65 ribu hektar belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki dan Kedung Cangkring, 10.426 unit bangunan, 65 masjid & mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, 4 kantor (Kompas 12 Mei 2007). Persoalan ganti rugi yang sesungguhnya menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT Minarak Lapindo Jaya) hanya sanggup membayar 42 bidang dari 662 di Jatirejo. Pemerintah telah mencoba melakukan upaya dengan pembentukan Tim Nasional yang kemudian diganti Badan Penanggulangan Lumpur dengan saluran pengelak, bola beton, serta rencana counter weight belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka beberapa persoalan mendasar yang dapat penulis jabarkan mencakup:
1. Persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah)/ state based environmental management tercantum pada Pasal 8 – 13 UU No.23 Tahun 1997 memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah perspektif sektoral(sectoral perspective) dan partisipasi publik (baca masyarakat) yang semu (Pasal 5 Ayat (3) dan 7 Ayat (1) dan (2). Dikatakan semu, karena sifatnya hanya proforma (tokenism) belaka, tak ada kemampuan publik untuk melakukan kontrol yang efektif atas bagaimana pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah yang menurut Koesnadi Hardjasoemantri (2006) seharusnya mewujudkan Good Environmental Government (GEG) (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 70-78).
2. Kuatnya pengaruh variabel politik dan ekonomi serta tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan menciptakan wujud kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum yang mengesampingkan etika & moral, kearifan lokal (indigenous knowledge) serta kritik maupun keluhan korban lingkungan.
3. Sekalipun isu global baik "caring for the earth: a strategy for sustainable living" tahun 1980 yang disusun oleh IUCN, UNEP dan WWF yang diterjemahkan menjadi pembangunan berkelanjutan (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 117-118) maupun konsep United Nation Development Program 2006-2010 pada 2005 yang dinamakan "Millenium Development Goals (MDG’s)" yang dilatari peristiwa krisis multi dimensional dan transformasi politik, belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) khususnya akar rumput (grassroot/ rakyat). Artinya wacana global masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan intektual akademis. Pada akhirnya forum seminar, lokakarya, diskusi publik masih sebatas menggaungkan isu tersebut sebagai wacana belaka. Tak pelak, kesenjangan konsep dan cara pandang antara pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan sangat mencederai rasa keadilan rakyat.
4. Kelemahan posisi tawar pemerintah dalam melakukan perjanjian internasional baik bilateral maupun multi lateral, membawa dampak pada degradasi sumber daya alam (natural resources degradation) seperti perundingan dengan pemerintah Australia dalam Timor gap (1997), perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Singapura (2007) sehingga kerusakan kepulauan Riau akibat eksploitasi pasir semakin mengkhawatirkan. Belum termasuk kegagalan negosiasi dengan perusahaan transnasional seperti dengan PT Freeport Mc Moran Inc, PT Newmont Minahasa Raya, sehingga proses pencemaran yang hebat terus terjadi sekalipun telah timbul banyak korban.
III. Beberapa Pandangan Jalan Keluar/ Solusi
Beranjak beberapa persoalan mendasar yang dapat disarikan oleh penulis pada bagian di muka, maka dengan mempelajari bahan-bahan bacaan teoritik, hasil-hasil penelitian lapang, makan di bawah ini beberapa opsi solusi mengenai permasalahan lingkungan khususnya dapat perspektif hukum dan sosial adalah sebagai berikut:
1. Dengan mengambil beberapa contoh kegiatan yang sekalipun masih sangat langka menurut hemat penulis berhasil dilakukan di beberapa daerah tentang pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat (community based environmental management) seperti di taman nasional Bunaken (Sulawesi Utara) (Puslitbang BPN dan FH-Unibraw.,2005), Wonosobo dengan Community forestry (Anu Lounella, 2006) Wonosari dengan Wana Gama mengusung konsep social forestry (1994) menunjukkan bahwa sesungguhnya ada nilai esensial bahwa rakyat memiliki konsep kearifan yang bersifat/ bercorak lokal (Indigenous knowledge) yang potensial ditumbuhkembangkan menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) dalam masalah lingkungan (Anonimous.,2000 Ringkasan Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UNDP Country Programme for Indonesia, Desember 2005: 1-6, 37-40); Kearifan lokal yang merupakan mozaik kekayaan budaya Indonesia sayangnya hingga sekarang belum dikaji, dikembangkan apalagi diakui dan dilindungi eksistensinya.
2. Pemerintah bersama masyarakat menginisiasi suatu forum kecil di beberapa daerah yang berdasarkan hasil studi bersifat komprehensif mengalami permasalahan lingkungan dengan para pemangku kepentingan dengan skema/pola apa yang sesungguhnya dimaui oleh rakyat khususnya yang menjadi korban. Perspektif tanggung jawab dalam undang-undang No.23 Tahun 1997 Pasal 41-48 menunjukkan berperspektif pelaku. Tak pelak dalam upaya penegakan hukum baik yang dilakukan oleh kepolisian/ PPNS pada Pasal 40 maupun oleh pengadilan mengindikasikan keberpihakan pada pelaku yang notabene mapan dalam ekonomi serta akses. Tak harus inisiasi bersifat antisipatif melainkan sesungguhnya yang pas adalah preskriptif. Sungguh celaka, berdasarkan pengalaman, dunia akademis pendidikan tinggi yang awalnya sangat diandalkan untuk memberikan "pencerahan" melalui kajian-kajian ilmiahnya yang "obyektif" karena tradisi budaya "mentalitas mengabdinya" terjerembab ke dalam jurang keberpihakan kepada pelaku/ dunia usaha dengan lantang dan seolah perasaan tidak berdosa menyatakan rakyat tidak berhak menunutut karena peristiwa kerusakan lingkungan merupakan faktor alamiah.
3. Penuangan isu good corporate social responsibility harus dituangkan hitam di atas putih dalam kerangka ijin investasinya dengan sanksi siap untuk dicabut dan berarti harus siap dituntut pertanggungjawabannya secara hukum. Agar terjadi transparansi, maka setiap pemberian ijin investasi sekaligus satu paket kontrak sosial didesiminasikan kepada seluruh pemangku kepentingan dan komisi pengawas investasi daerah. Tentunya sejalan dengan ide tersebut, dalam upaya menggairahkan iklim investasi di daerah harus dibarengi dengan transparansi perijinan mulai prosedur, biaya, fasilitas, jaminan keamanan dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Usaha sistem pelayanan perijinan model satu atap seperti Sidoarjo, DKI baik diangkat dalam spektrum yang lebih luas bertaut dengan masalah lingkungan bagaimana menjadikan isu lingkungan yang berkelanjutan tidak sekadar gagasan di level birokrasi pemerintahan, dikalangan partai politikpun merupakan keniscayaan sebagai kebutuhan dasar bersama. Indonesia yang menurut hasil kajian lembaga internasional luas hutannya mencapai 120 juta hektar (10% luas total hutan tropis dunia) kerusakan sumber daya hutannya tercepat di dunia (terjadi perbedaan data FAO 2,8 juta hektar per tahun, Walhi 2,7 juta hektar sedangkan Departemen Kehutanan 1,18 juta hektar) tinggal menunggu waktu mengalami kehancuran yang salah satu faktornya diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Komitmen dan langkah nyata harus dilakukan menyusul diberlakukannya Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Penggalangan partisipasi bukan lagi kata kunci melainkan penyadaran keterlibatan semua pemangku kepentingan menjadi keniscayaan.
B.
Kependudukan
1.
Sistem kependudukan di
Indonesia
Masalah penduduk
dan kependudukan dapat dihampiri melalui pendekatan system. System adalah suatu
totalitas bagian (satuan komponen) yang terdiri dari berbagai sub komponen yang
saling berkaitan, saling tergantung dan berinteraksi, dan saling menentukan
sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu untuk mencapai tujuan tertentu
dan harus diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan.
Jika komponen yang menentukan ciri
dan perilaku demogarafi tersebut dapat dikelompokkan menjadi suatu system maka
system ini dapat disebut sebagai system demografikatau system penduduk.
Indonesia diharapkan akan menjadi salah satu Negara yang memiliki pertumbuhan
ekonomi yang baik. Hal ini perlu diikuti dalam kesiapan dalam menyongsong
kesempatan untuk peningkatan sector industry, jasa dan ekonomi lainnya. Dengan
demikian, harus ada kebijaksanaan pembangunan di sector-sektor yang terkait
dengan factor kemudahan akses regional. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
mendorong manusia untuk memanfaatkan sumber hdaya alam secara lebih efisien dan
efektif.
2. Analisis
Hubungan Antara Pembangunan, Kependudukan Dan Ketahanan Nasional
Pembangunan
harus di pahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi
dan organisasi system social, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tujuan akhir
pembangunan adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahtaraan masyarakat.
Kemakmuran yang berkaitan dengan aspek ekonomi : dapat diukur dengan tingkat produksi,
pengeluaran dan pendapatan, sedangkan tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
aspek nonekonomi, misalnya kesehatan,
pendidikan dan keamanan.
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat selam 25 tahun PJP I telah menaikkan peringkat Indonesia
dari Negara yang berpenghasilan rendah pada awal PJP I menjadi Negara yang berpendapatan
menengah. Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya, UNDP menerbitkan buku “Human Development Report” 1990.
Pengembangan manusia adalah suatu proses untuk memperluas pilihan masyarakat. Pada
prinsipnya pilihan tersebut dapat bersifat infinite (tidak terbatas)., dan
berubah dari waktu ke waktu.
Sejak
tahun 1970, Indonesia mulai melaksanakan program pembangunan nasional yang
padat dengan tindakan-tindakan modernisasi, terutama di bidang ekonomi, maka
setapak demi setapak adat didalam masyarakat berkurang kekuatannya. Proses modernisasi yang makin lama makin
cepat mendapat rembutan baik dari masyarakat yang menikmati hasilnya yang
positif berlangsung melalui saluran pemerintah yang menjadi pelaku utama
pembangunan, pendidikan formal, media komunikasi massa, dan
oraganisasi-organisasi kemasyrakatan.
Demokrasi
ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi.
Demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Arah ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi
itu tidak dapat terjadi dengan sendirinnya. Kemajuan yang diukur melalui
membesarnya nasional tidak otomatis menjamin bahwa pembuatan tersebut
mencerminkan kesejahteraan secara
merata.
Pada
ICPD (International Confience on Population Development) 1994 di Kairo,
kesehatan reproduksi didefenisikan sebagai keadaan fisik, mental dan social
yang baik secara menyeluruh dalam segala hal yang berkaitan dengan system reprodu,
mental dan social yang baik secara menyeluruh dalam segala hal yang berkaitan
dengan system reproduksi, fungsi dan prosesnya.kegiatan yang diarahkan berujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dengan memberikan perhatian lebih kepada
pemenuhan kebutuhab individu daripada pencapaian target demogratis.
C. Amdal
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan
suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan
hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang
"Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".
Dokumen AMDAL terdiri dari :
a) Dokumen Kerangka Acuan Analisis
Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
b) Dokumen Analisis Dampak Lingkungan
Hidup (ANDAL)
c) Dokumen Rencana Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RKL)\
d) Dokumen Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
a) Bahan bagi perencanaan pembangunan
wilayah
b) Membantu proses pengambilan
keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau
kegiatan
c) Memberi masukan untuk penyusunan
disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
d) Memberi masukan untuk penyusunan
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
e) Memberi informasi bagi masyarakat
atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam
proses AMDAL adalah:
a) Komisi Penilai AMDAL, komisi yang
bertugas menilai dokumen AMDAL
b) Pemrakarsa, orang atau badan
hukum
yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilaksanakan, dan
c) masyarakat yang berkepentingan,
masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a) Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat
ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan
daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar
kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 11 Tahun 2006, Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut,
maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 86 Tahun 2002
b) Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman
Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
c) Kewenangan Penilaian didasarkan oleh
Permen LH no. 05/2008
BAB III
HASIL PENGAMATAN
A.
Hasil Penelitian
Lokasi 1 yaitu Bekas pabrik Kertas Gowa
Kondisi
lingkungan setelah 5 tahun kedepan akan padat karena akan difungsikan menjadi
kampus dua UNHAS dan pabrik kertas tersebut akan ditutup karena kebutuhan akan
bahan baku berupa pohon telah berkurang
karena pembalakan liar dan tidak dilakukannya tanam kembali setelah ditebang.
Lokasi 2 yaitu Bendungan Bili-Bili
Dampak Positif dibangunnya DAM Bili-Bili
yaitu:
1. Bebas
pencemaran air minum
2. Memberikan
irigasi disekelilingnya, jadi persawahan dapat memanfaatkan air ini dan petani
dapat panen 2 kali dalam satu tahun
3. Pembangkit
listrik tenaga air
4. Pengelolaan
atau pemasok air minum di makassar 80% dan 20% di Sungguminasa
Dampak Negatif dibangunnya DAM Bili-Bili
yaitu:
1. Dari
segi biaya dimana perlu pendanaan yang cukup besar setiap tahunnya
2. Untuk
mengambil material harus dari daerah lain sehingga dapat merusak lingkungan
tersebut, seperti batu yang digunakan untuk membangun DAM tersebut.
3. Jika
bendungan tersebut jebol maka akan menenggelamkan kota Makassar dan Takalar
4. Penduduk
tidak bisa melakukan aktifitas pertanian
Lokasi 3 yaitu Tanggul Pengaman
Awalnya, lahan ini merupakan
persawahan dan perkebunan masyarakat namun setelah banjir besar yng melanda
tempat ini maka lahan tersebut menjadi tempat bertemunya sungai-sungai. Untuk
mengurangi material yang mengalir maka
dibuatlah gundukan – gundukan agar tidak terbawa ke bendungan Bili-bili dengan
kata lain tanggul pengaman ini sengaja dibangun untuk menahan material banjir.
Lokasi 4 yaitu Hutan Pinus
Hubungan tingkat kemiringan lereng
dan jenis tanaman yang cocok pada daerah hutan pinus adalah cengkeh, kopi, teh,
jagung, pisang, kol dan masih banyak tanaman sayuran lainnya tetapi hanya
tanaman yang dapat tumbuh dikemiringan sekitar 15 – 20 derajat celcius.
Lokasi 5 yaitu Perkebunan Teh
Tanaman teh cocok ditanam pada
pegunungan dengan ketinggian tempat sekitar 1200 sampai 1300 meter dari
permukaan laut dan dengan suhu sekitar 15 sampai 13 derajat celcius, semakin
tinggi suatu tempat atau daerah maka suhunya juga semakin rendah karena tekan
udara semakin tinggi.
Lokasi 6 yaitu pasar tradisional Malino
Pada pasar tradisional Malino banyak
ditemukan sayur-sayuran yang segar dan bentuknya pun lebih besar
dibandingkan jika dipasar-pasar
tradisional di Makassar. Namun pasar tersebut tidak terjaga kebersihannya
karena ketidak tersedinya tempat sampah disudut-sudut pasar sehingga dapat
menimbulkan berbagai penyakit. Dengan adanya pasar ini kebutuhan masyarakat
terpenuhi dengan tersedianya berbagai kebutuhan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
kegiatan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa di daerah gowa
terdapat banyak tempat-tempat wisata yang selain sebagai sarana rekreasi juga
sebagai tempat untuk menambah wawasan tentang kelestarian alam. Banyak sesuatu
yang dibangun masyarakat untuk menjaga agar alam tetap lestari dan agar manusia
lebih mencintai alam. Kita merawat alam dan alam pun menjaga kita.
B.
Saran
Dalam study lapang ini, para
peserta kebanyakan terpencar dan terpisah dari teman kelompoknya, dan saling
melempar tanggung jawab dalam mengambil data. Jadi, data yang didapatkan kurang
optimal karena tidak terorganisirnya para peserta dan kurangnya kerja sama
antara anggota-anggota kelompok. Untuk melaksanakan kegiatan seperti ini
selanjutnya diharapkan agar peserta bersunguh-sungguh dalam mengikuti kegiatan
sehingga kegiatan ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment